Senin, 09 Desember 2013

hubungan murid dan mursyid


                                                 Hubungan Murid dan Mursyid
A.  Pengertian Murid dan Mursyid
1.    Pengertian Murid
        Murid (murid) berasal dari bahasa arab, artinya orang yang mempunyai keinginan. Murid Istilah murid di dalam thoriqoh adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid-wirid tertentu dari aliran thoriqohnya. Atau dengan kata lain orang yang telah berbai’at kepada seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid thoriqoh.[1]
       Menurut al-Ghazali seorang siswa (murid dalam istilah tasawuf ) harus mempunyai seorang penunjuk yang akan membimbingnya yang akanmenujukjalan yang benar, dan orang yang tidak mempunyai guru maka akan di bawa iblis kejalannya[2]. Murid dalam dalam tasawuf dibagi menjadi tiga kelas.
1.        Mubtadi atau pemula yaitu mereka yang baru mempelajari syari’at. Jiwanya masih terikat dengan duniawi, kelas pemula ini berlatih melakukan amalan-amalan zhahir secara tetap dalam waktu tertentu.
2.        Mutawassith atau tingkat menegah yaitu orang yang sudah dapat melewati kelas pemula dan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang syari’at. Kelas ini sudah mulai memasuki pengetahuan dan amalan-amalan yang bersifat bathiniah. Tahap ini adalah tahap belajar dan berlatih menyucikan bathin agar tercapai akhlak yang baik
3.        Muntahi atau tingkat atas yaiti murid yang telah matang ilmu syari’atnya, sudah menjalani ilmu syari’at dan thareqot dan mendalami ilmu bathiniah. Sudah bebas dari perbuatan maksiat sehingga jiwanya bersih. Orang yang sudah sampai pada tingkat inni disebut arif yaitu orang yang sudah diperkenankan mendalami ilmu hakikat. Sesudah itu iapun bebas dari bimbingan guru.[3]

B.  Pengertian  Mursyid
       Mursyid berasal dari bahasa arab dan merupakan isim fail kaa kerja arsyada- yursyidu yang berarti membimbing, mursyid ( pembimbing spiritual ), adalah seorang ahli waris sejati nabi Muhammad SAW.[4]
       Kiai atau ulama secara umum juga disebut mursyid, namun sebutan ini lebih popular dalam tradisi suluk dan tarekat. Tidak semua ulama atau kiai bisa menempati posisi sebagai mursyid yang menjadi pembimbing dan penunjuk jalan bagi jamaahnya,  mursyid adalah istilah yang berlaku dalam tradisi suluk dan tarekat untuk menyebut seorang pembimbing spiritual dalam suatu jamah tariqoh, mursyid merupakan figure pemegang otoritas tertinggi untuk membimbing murid-murid dan jamaah suatu tariqoh, namun faktor yang paling utamanya itu keilmuan seorang mursyid haruslah menguasai ilmu-ilmu lahir (syariat ) dan ilmu batin (hakikat ma’rifat).
        Seorang mursyid yang telah sempuran suluk (laku) nya dalam istilah tasawuf disebut rijal al- kamal ( seorang yang telah sempurna). Seorang murid harus memenuhi persyaratan tertentu, diantaranya adalah harus mendapat bimbingan secara resmi dari mursyid, syarat itu diberlakukan agar murid mendapat bimbingan yang benar dari seorang mursyid agar tidak salah jalan. Dan samping itu juga harus telah memiliki ilmu agama ( syariat ) yang memadai dan benar-benar sudah saatnya untuk menerima ilmu tasawuf tersebut. Karena, dikhawatirkan apabila seseorang belum memiliki ilmu agama yang memadai dia akan jatuh pada praktek-praktek yang dilarang agama.
        Istilah mursyid sering dikaitkan tarekat, tarekat sendiri berarti jalan atau metode mandekati tuhan. Sebelum seseorang masuk dalam tarekat biasanya di bai’at oleh mursyid, bai’at adalah janji setia yang harus dita’ati murid selama dia berada dalam bimbingannya. Intinya mewajibkan para murid untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi segala larangan secara konsisten, karena itu inti dari tasawuf untuk membimbing seseorang kearah pengalaman agama secara lebih baik.[5]

C.  Syarat-syarat Menjadi Mursyid
     Untuk menjadi mursyid, seorang ulama haruslah memenuhi tiga kriteria
1.        Seorang mursyid ketika menjadi pembimbing spiritual dan penunjuk jalan haruslah matang dalam menguasai ilmu para ulama.
2.        Seorang mursyid juga harus memahami hikmah dari orang-orang yang sudah ma’rifat-billah.
3.        Seorang mursyid menguasai pula taktik dan strategi yang diterapkan penguasa (raja/ pemimpin politik ). [6]
Menurut syaikhromly dalam menyitir ulasan dalam kita bnata’ij al-afkar al-qudsiyah. Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

D. Kriteria dan Norma Murid Tererhadap Mursyid
Untuk menjaga hubungan antara seorang murid dan mursyidnya, murid harus memiliki kriteria-kriteria dan norma-norma serta tata karma seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad Al-Khomisykhonawiy dalam kitab Jami’ul Ushul filAulia’, yaitu sebagai berikut :
1. Setelah yakin dan mantap dengan seorang Syaikh ( mursyid ), dia segera mendatanginya seraya berkata :”Aku datang kehadapanmu agar dapat ma’rifat (mengenal) Allah Swt.
2. Bersegera melakukan apa yang telah diperintahkan oleh mursyidnya dengan tanpa keengganan, tanpa menyepelekan dan tidak berhenti sebelum urusannya selesai.
3. Ash-Shidqu ( bersungguh–sungguh ) didalam pencarian ma’rifatnya, sehingga segala ujian dan cobaan tidak mempengaruhinya dan segala celaan serta gangguan tidak akan menghentikannya. Dan hendaknya kecintaan yang jujur kepada mursyidnya melebihi cintanya terhadap diri, harta, dan anaknya, seraya berkeyakinan bahwa maksudnya dengan Allah SWT tidakakan kesampaian tanpa wasilah (perantara) mursyidnya.
4. Mengamalkan semua apa yang telah ditalqinkan oleh mursyidnya, berupadzikir, tawajuh dan muroqobah. Dan meninggalkan semua wirid dari yang lainnya sekalipun ma’tsur. Karena firasat seorang mursyid menetapkan tertentunya hal itu, merupakan nur dari Allah SWT.
5. Merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk, dan tidak melihat bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain serta berusaha keluar dari tanggungan hak–hak pihak lain dengan menunaikan kewajibannya. Dan memutus dari segala ketergantungannya dari selain Al-Maqshud (Allah SWT).
6. Tidak suka marah kepada siapapun, karena marah itu dapat menghilangkan nur (cahaya) dzikir. Dan meninggalkan perdebatan serta perbantahan dengan para penuntut ilmu, karena perdebatan itu menyebabkan ghoflah (kelalaian). Jika muncul pada dirinya rasa marah kepada seseorang hendaknya segera minta ma’af kepadanya. Dan hendaknya tidak memandang rendah pada siapapun juga.
           Sedangkan adab seorang murid secara khusus kepada mursyidnya antara lain sebagai berikut;
1. Keyakinan seorang murid hendaknya hanya kepada seorang mursyidnya saja. Artinya ia yakin bahwa segala apa yang diinginkan dan dimaksudkan tidak akan berhasil kecuali dengan wasilah mursyidnya.
2. Tunduk, pasrah dan ridlo dengan segala tindakan mursyidnya. Dan berkhidmah kepadanya dengan harta dan badannya, karena jauharul mahabbah (mutiara kecintaan) tidak akan nampak kecuali dengan cara ini, dan kejujuran serta keikhlasan tidak akan diketahui kecuali dengan ukuran timbangan ini.
3. Memelankan suara ketika berada di majlis sang musyid, karena mengeraskan suara di majlis orang–orang besar termasuk su'ul adab (perilaku yang buruk) . Dan tidak berpanjang lebar ketika berbicara, memberikan jawaban atau bertanya kepadanya. Karena hal tersebut akan dapat menghilangkan rasa segan terhadap mursyidnya, yang menjadikan bisa terhijab (terhalang) dari kebenaran.
4. Mengetahui waktu–waktu untuk berbicara dengan mursyidnya, sehingga tidak berbicara dengannya kecuali pada waktu-waktu luangnya dan dengan sopan, tunduk dan khusuk tanpa melebihi batas kebutuhannya, sambil memperhatikan dengan sungguh-sungguh jawaban–jawaban yang diberikannya.[7]

E. Hubungan Murid dan Mursyid
Rabithah dalam pengertian bahasa(lugat) artinya bertali, atau berhubungan. Sedangkan dalam pengertian istilah thareqat, rabithah adalah menghubungkan ruhaniah murid dengan ruhaniah guru dengan cara menghadirkan rupa atau wajah mursyid atau syaikh ke hati murid ketika berdzikir atau beramal guna mendapatkan wasilah dalam rangka perjalanan murid menuju Allah atau terkabulnya do’a.
 Seorang murid dengan sungguh-sungguh menuntut ilmu dari gurunya, dan seorang guru dengan tulus ikhlas memberikan pendidikan dan pengajaran kepada muridnya, hingga dengan demikian terjadilah hubungan yang harmonis antara keduanya. Murid yang mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dengan cara demikian akan memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat. Kalau rabithah antara murid dengan guru biasa adalah transfer of knowledge, yakni mentransfer ilmu pengetahuan, maka rabithah antara murid dengan guru mursyid adalah transfer of spiritual, yakni mentransfer masalah-masalah keruhanian. Di sinilah letak perbedaannya. Kalau transfer of knowledge tidak bisa sempurna tanpa guru, apalagi transfer of spiritual yang jauh lebih halus dan tinggi perkaranya, maka tidak akan bisa terjadi tanpa guru mursyid.
  Dalam ilmu tasawuf yang menjadi dasar-dasar rabithahbagi para pakar tawasuf / thareqat yaitu mursyid adalah salah satu memperoleh wasilah menuju Allah.seperti Firman Allah Swt.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah / jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihatlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. al Maidah : 35)
 Menurut pendapat ahli thareqat, mafhum al-wasilah dalam ayat ini bersifat umum. Wasilah dapat diartikan dengan amal-amal kebajikan Berkumpul dan bergandengan dengan guru mursyid secara lahir atau batin termasuk amal yang baik dan terpuji. Berkumpul dan bergabung itulah oleh kalangan ahli thareqat disebut dengan rabithah mursyid. Jika diperintah mencari wasilah, maka rabithah adalah wasilah yang terbaik diantara jenis wasilah yang lain. Firman Allah
Katakanlah : jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)[8]
Dalam tradisi tasawuf peran seorang mursyid yaitu (pembimbing atau guru ruhani ) merupakan syarat mutlakuntuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Hubungan murid dan mursyid dalam tasawuf kaitanya sangat erat.dalam contohnyaRasulluah SAW. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. [9]
Menurut al-Ghazali seorang siswa ( murid dalam istilah tasawuf ) harus mempunyai seorang penunjuk yang akan membimbingnya yang akan menujuk jalan yang benar, dan orang yang tidak mempunyai guru ( syaikh ) maka akan di bawa iblis kejalannya. Maksud pernyataa imam ghazali tersebut terkait dengan ilmu tasawuf. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang terkait oleh jiwa dan batin yang didalam mempelajarinya harus dibimbing oleh seorang mrsyid(Guru spiritual) yang benar-benar memiliki otoritas, artinya spiritual telah mendapat mandat dari mursyidnya untuk menjadi guru dan telah teruji secara praktis di kehidupan sehari-hari, Disamping secara syar’i telah menguasai ilmu-ilmu syari’at islam secar baik. Dalam istilah mursyid biasanya dikaitkan dengan tarekat, sedang tarekat itu sendiri berarti jalan atau mendekati tuhan. Sebelum seseorang masuk dalam tarekat, biasanya di baiatoleh mursyid. Ba’at adalah janji setia yang harus dita’ati oleh murid selama ia berada dalam bimbinganya. Inti ba’at adalah mewajibkan para murid untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi laranganya secara konsisten, karena memang itulah inti dari tasawuf untuk membimbing seseorang kearah pengalaman agama secara lebih baik.
Seorang mursyid dapat melarang sebagian muridnya untuk menerima bai’at dari mursyid lain karena didalam melarang itu untuk mengarahkan murid pada apa yang menjadikan kemaslahatanya, seorang mursyid tidak boleh membai’at murid tanpa mengajarkan ilmu-ilmu syari’at terlebih dahulu.[10]
















BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
1.      Murid di dalam thoriqoh adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid-wirid tertentu dari aliran thoriqohnya.
2.      Mursyid berasal dari bahasa arab dan merupakan isim fail kata kerja arsyada- yursyidu yang berarti membimbing, mursyid ( pembimbing spiritual ), adalah seorang ahli waris sejati nabi Muhammad SAW.
3.      Syarat-syarat Menjadi Mursyid: Seorang mursyid ketika menjadi pembimbing spiritual dan penunjuk jalan haruslah matang dalam menguasai ilmu para ulama, Seorang mursyid juga harus memahami hikmah dari orang-orang yang sudah ma’rifat-billah, Seorang mursyid menguasai pula taktik dan strategi yang diterapkan penguasa(raja/ pemimpin politik ).
4.      . Kriteria dan Norma Murid Terhadap Mursyid:  Setelah yakin dan mantap dengan seorang Syaikh ( mursyid ), Bersegera melakukan apa yang telah diperintahkan oleh mursyidnya, Ash-Shidqu ( bersungguh–sungguh ) didalam pencarian ma’rifatnya, Mengamalkan semua apa yang telah ditalqinkan oleh mursyidnya, Merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk, Tidak suka marah kepada siapapun.
5.      Hubungan Murid dan Mursyid
Rabithah dalam pengertian bahasa(lugat) artinya bertali, atau berhubungan. Sedangkan dalam pengertian istilah thareqat, rabithah adalah menghubungkan ruhaniah murid dengan ruhaniah guru dengan cara menghadirkan rupa atau wajah mursyid atau syaikh ke hati murid ketika berdzikir atau beramal guna mendapatkan wasilah dalam rangka perjalanan murid menuju Allah atau terkabulnya do’a.


DAFTAR PUSTAKA

Amatullah amstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, PustakaPelajar, Yogyakarta, 2003
Hadi Mukhtar, Memaham Ilmu Tasawuf, Aura Media, Yogyakarta, 2009
K.H.A Aziz Mayshuri, Permaslahan Tarekat, Khalista, Surabaya, 2006
Murtadho Hadi, Tiga Guru Sufi Tanah Jawa, Pustaka Pesantern, Yogyakarta, 2010
http://sufimuda.net/2008/04/22/rabithah-mursyid, dikutip hari pada taggal 22-11-2013



[2] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, PustakaPelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 49
[3] Hadi Mukhtar, Memaham Ilmu Tasawuf, Aura Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 144
[4] Amatullah amstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996 hlm. 198
[5] Amin Syukur, Op.cit, hlm. 49-51
[6] Murtadho Hadi, Tiga Guru Sufi Tanah Jawa, Pustaka Pesantern, Yogyakarta, 2010, hlm. 12
[8]http://sufimuda.net/2008/04/22/rabithah-mursyid, dikutip hari pada taggal 22-11-2013
[9] Amin Syukur, Op.cit, Hlm. 47
[10] K.H.A Aziz Mayshuri, Permaslahan Tarekat, Khalista, Surabaya, 2006, hlm. 4-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar