Senin, 09 Desember 2013

Tasawuf dan Spiritualitas

                                     TASAWUF DAN SPIRITUALITAS





BAB I

PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Tasawuf adalah bagian dari syari'at Islamiah, yakni wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam (iman, Islam, dan ihsan). Oleh karena itu perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syari'at Islam. Tasawuf sebagai perwujudan dari ihsan, yang berarti beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, apabila tidak mampu demikian, maka harus disadari bahwa Dia melihat diri kita, adalah kualitas penghayatan seseorang terhadap agamanya. Dengan demikian tasawuf sebagaimana mistisisme pada umumnya, bertujuan membangun dorongan-dorongan yang terdalam pada diri manusia. Yaitu dorongan untuk merealisasikan diri secara menyeluruh sebagai makhluk, yang secara hakiki adalah bersifat kerohanian dan kekal. Tidak sekedar asoteris, ganjil dan hayali, tetapi justru sublim, universal dan benar-benar praktis. Ia mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mampu mengenal Tuhannya. Hal ini merupakan pegangan hidup yang paling terpercaya, sehingga manusia tidak terombang-ambing saat diterpa badai kehidupan. Ia menuntun manusia menuju hidup yang bermoral, sehingga mampu menunjukka eksistensinya sebagai makhluk termulia di muka bumi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian tasawuf dan spiritualitas ?
2.      Bagaimana tasawuf sebagai model spiritualitas ?
3.      Bagaimana peranan tasawuf dalam menanggulangi krisis spiritual ?
4.      Bagaimana tingkatan spiritualitas dalam tradisi tasawuf ?










BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Tasawuf dan Spiritualitas
Adapun asal usul tasawuf menurut pendapat para ahli antara lain sebagai berikut[1] :
1.      Shuffah artinya emper Masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar.
2.      Saff artinya barisan dalam shalat berjamaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan selalu memilih saff terdepan dalam shalat berjamaah.
3.      Shafa atau safw yang artinya bersih atau suci. Maksudnya kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4.      Saufanah yaitu sejenis buah-buahan yang berbulu, yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena orang-orang sufi banyak memakai pakaian berbulu, dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur batinnya.
5.      Theosophi (Theo: Tuhan, Sophos: hikmah) yang artinya hikmah ketuhanan, sebab ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.
6.      Shuf artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan.
7.      Safwah berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengembangan rohani manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri kepada Allah.[2]
Menurut kamus Webster (1963) dalam buku Psikologi Islam, Tamami. Kata spirit berasal dari bahasa latin spiritus, yang  berarti napas (breath) dan kata spirare yang berarti bernapas. Jadi, spiritual berarti mempunyai ikatanyang lebih bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencernaan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahtreraan seseorang.
Secara luas pengertian spiritual merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia.[3]
2. Tasawuf Sebagai  Model Spiritualitas
Seyyed Hosein Nasr dalam buku Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancangan Bangun Tasawuf,  mensinyalir bahwa epistemologi modernisasi  sering sama dari nilai-nilai spiritual yang menyebabkan jiwa-jiwa masyarakat modern tidak dapat bersemi untuk membuahkan perilaku religius, sehingga yang tumbuh adalah kemanusiaan yang ateis.
Ia juga menjelaskan bahwa manusia modern telah kehilangan sence of wonder  yang mengakibatkan lenyapnya pengertian dan kesadaran tentang kesucian pada tingkatan suatu realitas yang dia mendasarkan bagaimana keajaiban misteri intelegensia dan sunjektivitas manusiawi sebagai kekuatan objektif dan kemungkinan pengetahuan yang bersifat objektif. Manusia lupa terhadap dunia yang tidak terbatas dalam dirinya sendiri dan objektivikasi dunia luar memiliki batin pengetahuan subjektif sebagaimana pengetahuan tentang dataran objektif secara total (materi atau immateri).[4]
Akibat dari jauhnya masyarakat modern dari Pusat Eksistensi (Tuhan) menyebabkan hilangnya visi keilahian yang menimbulkan gejala psikologis dan problem spiritual berupa kehampaan spiritual. Karena itu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi didasarkan pada filsafat rasionalisme, positivisme dan materialisme. Kini yang dirasakan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai spiritual-transendental dan suatu kebutuhan vital dapat digali dari sumber wahyu ilahi. Dampak terburuknya adalah banyak dijumpai orang-orang yang terkena beban psikologis seperti stres, resah, bingung, gelisah, dan sebagainya. Karena tidak memiliki pegangan hidup yang kuat, yang berporos pada pusat eksistensi (Tuhan).
Dalam buku Simuh yang berjudul Tasawuf dan Kritis, Abu al-wafa al-Taftazani mengklasifikasikan sebab-sebab munculnya kegelisahan masyarakat modern:
1.      Kegelisahan karena timbulnya rasa takut kehilangan apa yang dimilikinya, seperti uang, pangkat, jabatan.
2.      Kegelisahan karena rasa takut akan masa depan yangtidak disukainya.
3.      Kegelisahan yang disebabkan oleh rasa kecewa terhadap prestasi kerja yangdipandangnya tidak mampu memberi harapan masa depan, baik spiritual maupun material.
4.      Kegelisahan yang disebabkan karena dirinya merasa banyak melakukan pelanggaran dan dosa.
3. Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual
Secara teologis, manusia adalah makhluk Allah. Ia adalah ciptaan-Nya yang ditunjuk sebagai hamba dan Khalifah-Nya dimuka bumi ini. Para filosof islam mengakui bahwa manusia itu tersusun dari elemen materi dan immateri. Al-Farabi, seorang filosof islam yang terbesar (870-950) menjelaskan bahwa manusia adalah hasil dari proses emanasi Tuhan. Ibnu Sina, seorang filosof islam yang lahir pada tahun 370 H di Bukhara mengatakan bahwa materi dan ruh manusia adalah hasil dari emanasi wajib al-Wujud Allah.
Dalam pandangan al-Hallaj, Allah dan manusia masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut. Nasut Allah berada dalam bentuk Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari-Nya. Manakala seorang sufi sudah suci jiwanya, maka Nasut Allah akan bertempat pada diri manusia yang bercampur dengan ruh (lahut) manusia. Percampuran dua aspek inilah yang disebut Hulul.[5]
Dalam buku Simuh yang berjudul Tasawuf dan Kritis, Al-Hakim al-Tirmidhi (255-320 H)  menjelaskan berbagai tingkatan dan fungsi spiritual yang menjadi obyek dan sasaran dari pengalaman maqamat. Menurutnya ada empat macam tingkatan batin yang ada dalam diri manusia, yaitu shadr, qalb, fu’ad,dan lubb.
Selanjutnya al-Tirmidhi menjelaskan bahwa jiwa (nafs) bukanlah bagian dari tingkatan tapi merupakan asap yang hitam dan sebagai sumber keinginan untuk berbuat jelek dan hawa nafsu. Manakala keinginan dan hawa nafsu ini tidak dikendalikan melalui berbagai mujahadah, maka nafs akan berhembus dan memenuhi shadr. Akibatnya shadr tidak mampu menjalankan fungsi fitrahnya dan dikuasai oleh nafs (jiwa) untuk melakukan hal-hal yang jelek. Melalui riyadlah, nafs dapat dikontrol dan dapat diajak melintasi empat tingkatan spiritualitas.
Berkaitan dengan empat tingkatan batin, nafs (jiwa) manusia dapat diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu :
1.      Nafs (jiwa) yang mengajak manusia untuk berbuat jelek (al-nafs al-ammaarah bi al su’).
2.      Al-nafs almulhimah, jiwa yang agak jelek yang dimiliki oleh orang yang ada pada tingkatan mu’min.
3.      Al-nafs al-lawwamah, yaitu yang berada pada tingkatan ma’rifat (arif).
4.      Jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainah) yaitu jiwa yang dimiliki oleh orang sufi yang berada pada tingkatan muwahhid.[6]
4.Tingkatan Spiritualitas dalam Tradisi Tasawuf
            Secara harfiah, maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk bertada dekat dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages, yang berarti tangga.
Tingkatan maqamat yang popular dikalangan sufi adalah sebagai berikut:
1.      Tawbah (Taubat)
Tawbah mengandung makna “kembali”. Apabila dikatakan dia kembali bertaubat, berarti dia kembali. Jadi, tawbah adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara menuju sesuatu yang dipuji olehnya.
Tawbah pada prinsipnya adalah usaha untuk memahami diri terhadap kealpaan kemudian mengisinya dengan pengalaman, pengawalan, dan pembinaan yang konstruktif dari perilaku kotor pada yang baik, dari melakukan dosa dan maksiat pada pembuatan yang mendatangkan pahala, kecintaan, dan keridaan dari Allah SWT.
2.      Al-Wara’
Secara harfiah, al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak tidak baik. Dalam pengertian sufi, al-wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (subhat).
3.      Zuhud
Zuhud berarti tidak menginginkan sesuatu yang bersifat keduniawian.
4.      Faqr
Secara harfiah, faqr (fakir) diartikan sebagai orang yang berhajat, membutuhkan, atau orang miskin. Adapun dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguh pun taka da pada diri kita, tetapi kalau diberi diterima. Tidak meminta, tetapi tidak menolak.
5.      Sabr (Sabar)
Sabr (sabar) bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabr adalah usaha kesungguhan yang merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabr ialah menahan diri dalam memikul suatu penderitaan, baik dalam sesuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
6.      Tawakkal (Tawakal)
Tawakal merupakan kepercayaan dan penyerahan diri kepada Allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang selamanya tetap berada dalam ketenangan dan ketenteraman, baik dalam keadaan suka maupun duka, ia akan sabar serta tidak resah dan gelisah.
7.      Rida
Rida adalah puncak dari kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Rida merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hamba-Nya dari usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Maqam rida adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk keadaan jiwa, baik kebahagiaan, kesenangan, penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraaan dan kenikmatan karena kebahagiaan menikmati segala pemberian Allah SWT.
8.      Mahabbah
Mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk untuk bertemu dengan kekasih,
Ma’rifat secara etimologi berarti mengenal, mengetahui, dan boleh pula diarti yaitu Allah SWT. Tasawuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba untuk memperoleh cinta ilahi menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi curhatan orang-orang yang mencintai Tuhannya.
9.      Ma’rifah
Ma’rifah secara etimologi berarti mengenal, mengetahui, dan boleh pula diartikan dengan menyaksikan. Ma’rifah dalam spiritual islam menjadi isi terpenting sebagai pengukuran nilai-nilai ilahiah (ketuhanan) karena ma’rifat ini adalah tingkat tertinggi dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengenal Tuhan. Seorang sufi merasa dirinya dekat dengan Tuhan tanpa batasan. Ia menyakini bahwa dirinya selalu dipimpin oleh Tuhan. Oleh sebab itu, ia akan menjaga dan memelihara dirinya supaya tetap berada dalam ketaatan, keimanan, dan amal saleh.[7]









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengembangan rohani manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri kepada Allah.
Spiritual merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia.       
Dalam pandangan al-Hallaj, Allah dan manusia masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut. Nasut Allah berada dalam bentuk Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari-Nya. Manakala seorang sufi sudah suci jiwanya, maka Nasut Allah akan bertempat pada diri manusia yang bercampur dengan ruh (lahut) manusia. Percampuran dua aspek inilah yang disebut Hulul. 
Tingkatan maqamat yang popular dikalangan sufi adalah sebagai berikut:
1.      Tawbah (Taubat)
2.      Al-Wara’
3.      Zuhud
4.      Faqr
5.      Sabr (Sabar)
6.      Tawakkal (Tawakal)
7.      Rida
8.      Mahabbah
9.      Ma’rifah






                                                               


DAFTAR PUSTAKA
Amin Syakur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
Fitrah untuk SMA/MA Semester 2, Aqidah Akhlak, Putra Nugraha, Surakarta,2008.
Tamami, Psikologi Tasawuf, CV Pustaka Setia, Bandung, 2011.
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancangan Bangun Tasawuf, JP Book, Surabaya, 2007.
Simuh,et, al, Tasawuf dan Kritis,Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2001.












[1]  Amin syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar,Yogyakarta,1999 hlm. 7-8.
[2] Fitrah untuk SMA/MA semester 2, Aqidah Akhlak, Putra Nugraha, Surakarta, 2008 hlm. 3.
[3] Tamami, Psikologi Tasawuf, CV Pustaka Setia, Bandung, 2011 hlm. 19-20.
[4] Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancangan Bangun Tasawuf, JP Book, Surabaya, 2007 hlm. 252-253.
[5] Simuh, et, al, Tasawuf dan Kritis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001 hlm. 19
[6] Ibid, Simuh hlm. 30.
[7] Op.cit, Tamami hlm. 167-194.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar