TASAWUF DAN SPIRITUALITAS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf adalah bagian dari syari'at Islamiah, yakni
wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam (iman, Islam, dan
ihsan). Oleh karena itu perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka
syari'at Islam. Tasawuf sebagai perwujudan dari ihsan, yang berarti beribadah
kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, apabila tidak mampu demikian, maka harus
disadari bahwa Dia melihat diri kita, adalah kualitas penghayatan seseorang
terhadap agamanya. Dengan demikian tasawuf sebagaimana mistisisme pada umumnya,
bertujuan membangun dorongan-dorongan yang terdalam pada diri manusia. Yaitu
dorongan untuk merealisasikan diri secara menyeluruh sebagai makhluk, yang
secara hakiki adalah bersifat kerohanian dan kekal. Tidak sekedar asoteris,
ganjil dan hayali, tetapi justru sublim, universal dan benar-benar praktis. Ia
mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, mengajak
manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mampu mengenal Tuhannya. Hal ini
merupakan pegangan hidup yang paling terpercaya, sehingga manusia tidak
terombang-ambing saat diterpa badai kehidupan. Ia menuntun manusia menuju hidup
yang bermoral, sehingga mampu menunjukka eksistensinya sebagai makhluk termulia
di muka bumi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian tasawuf dan spiritualitas ?
2.
Bagaimana tasawuf sebagai model spiritualitas ?
3.
Bagaimana peranan tasawuf dalam menanggulangi krisis spiritual ?
4.
Bagaimana tingkatan spiritualitas dalam tradisi tasawuf ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Tasawuf dan Spiritualitas
Adapun asal usul tasawuf menurut pendapat para ahli
antara lain sebagai berikut[1] :
1.
Shuffah artinya emper Masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat
Anshar.
2.
Saff artinya barisan dalam shalat berjamaah. Alasannya, seorang sufi
mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan selalu memilih saff terdepan
dalam shalat berjamaah.
3.
Shafa atau safw yang artinya bersih atau suci. Maksudnya kehidupan
seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
4.
Saufanah yaitu sejenis buah-buahan yang berbulu, yang banyak tumbuh di
gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena orang-orang sufi banyak
memakai pakaian berbulu, dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur
batinnya.
5.
Theosophi (Theo: Tuhan, Sophos: hikmah) yang artinya hikmah ketuhanan,
sebab ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.
6.
Shuf artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut demikian karena
orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu
binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan.
7.
Safwah berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara
pengembangan rohani manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri
kepada Allah.[2]
Menurut kamus Webster (1963) dalam buku Psikologi
Islam, Tamami. Kata spirit berasal dari bahasa latin spiritus, yang berarti napas (breath) dan kata spirare yang
berarti bernapas. Jadi, spiritual berarti mempunyai ikatanyang lebih bersifat
kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
Spiritual merupakan kebangkitan atau pencernaan diri dalam mencapai makna hidup
dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan
kesehatan dan kesejahtreraan seseorang.
Secara luas pengertian spiritual merupakan hal yang
berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang
berhubungan dengan tujuan hidup manusia.[3]
2. Tasawuf Sebagai Model Spiritualitas
Seyyed Hosein Nasr dalam buku Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah
Atas Rancangan Bangun Tasawuf, mensinyalir bahwa
epistemologi modernisasi sering sama
dari nilai-nilai spiritual yang menyebabkan jiwa-jiwa masyarakat modern tidak
dapat bersemi untuk membuahkan perilaku religius, sehingga yang tumbuh adalah kemanusiaan
yang ateis.
Ia juga menjelaskan bahwa manusia modern telah kehilangan sence of wonder yang mengakibatkan lenyapnya pengertian dan
kesadaran tentang kesucian pada tingkatan suatu realitas yang dia mendasarkan
bagaimana keajaiban misteri intelegensia dan sunjektivitas manusiawi sebagai kekuatan
objektif dan kemungkinan pengetahuan yang bersifat objektif. Manusia lupa
terhadap dunia yang tidak terbatas dalam dirinya sendiri dan objektivikasi
dunia luar memiliki batin pengetahuan subjektif sebagaimana pengetahuan tentang
dataran objektif secara total (materi atau immateri).[4]
Akibat dari jauhnya masyarakat modern dari Pusat Eksistensi (Tuhan)
menyebabkan hilangnya visi keilahian yang menimbulkan gejala psikologis dan
problem spiritual berupa kehampaan spiritual. Karena itu kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi didasarkan pada filsafat rasionalisme, positivisme dan
materialisme. Kini yang dirasakan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pokok
manusia dalam aspek nilai-nilai spiritual-transendental dan suatu kebutuhan
vital dapat digali dari sumber wahyu ilahi. Dampak terburuknya adalah banyak
dijumpai orang-orang yang terkena beban psikologis seperti stres, resah,
bingung, gelisah, dan sebagainya. Karena tidak memiliki pegangan hidup yang
kuat, yang berporos pada pusat eksistensi (Tuhan).
Dalam buku Simuh yang
berjudul Tasawuf dan Kritis, Abu al-wafa al-Taftazani mengklasifikasikan
sebab-sebab munculnya kegelisahan masyarakat modern:
1.
Kegelisahan karena timbulnya rasa takut kehilangan apa yang
dimilikinya, seperti uang, pangkat, jabatan.
2.
Kegelisahan karena rasa takut akan masa depan yangtidak disukainya.
3.
Kegelisahan yang disebabkan oleh rasa kecewa terhadap prestasi
kerja yangdipandangnya tidak mampu memberi harapan masa depan, baik spiritual
maupun material.
4.
Kegelisahan yang disebabkan karena dirinya merasa banyak melakukan
pelanggaran dan dosa.
3. Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis
Spiritual
Secara teologis, manusia adalah makhluk
Allah. Ia adalah ciptaan-Nya yang ditunjuk sebagai hamba dan Khalifah-Nya
dimuka bumi ini. Para filosof islam mengakui bahwa manusia itu tersusun dari
elemen materi dan immateri. Al-Farabi, seorang filosof islam yang terbesar
(870-950) menjelaskan bahwa manusia adalah hasil dari proses emanasi Tuhan. Ibnu
Sina, seorang filosof islam yang lahir pada tahun 370 H di Bukhara mengatakan
bahwa materi dan ruh manusia adalah hasil dari emanasi wajib al-Wujud Allah.
Dalam pandangan al-Hallaj, Allah dan
manusia masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut. Nasut Allah berada dalam
bentuk Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang
berasal dari-Nya. Manakala seorang sufi sudah suci jiwanya, maka Nasut Allah
akan bertempat pada diri manusia yang bercampur dengan ruh (lahut) manusia.
Percampuran dua aspek inilah yang disebut Hulul.[5]
Dalam buku Simuh yang berjudul Tasawuf dan
Kritis, Al-Hakim al-Tirmidhi (255-320 H) menjelaskan berbagai tingkatan dan fungsi
spiritual yang menjadi obyek dan sasaran dari pengalaman maqamat. Menurutnya
ada empat macam tingkatan batin yang ada dalam diri manusia, yaitu shadr,
qalb, fu’ad,dan lubb.
Selanjutnya al-Tirmidhi menjelaskan bahwa
jiwa (nafs) bukanlah bagian dari tingkatan tapi merupakan asap yang
hitam dan sebagai sumber keinginan untuk berbuat jelek dan hawa nafsu. Manakala
keinginan dan hawa nafsu ini tidak dikendalikan melalui berbagai mujahadah,
maka nafs akan berhembus dan memenuhi shadr. Akibatnya shadr tidak mampu
menjalankan fungsi fitrahnya dan dikuasai oleh nafs (jiwa) untuk melakukan
hal-hal yang jelek. Melalui riyadlah, nafs dapat dikontrol dan dapat diajak
melintasi empat tingkatan spiritualitas.
Berkaitan dengan empat tingkatan batin,
nafs (jiwa) manusia dapat diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu :
1. Nafs (jiwa) yang mengajak manusia untuk
berbuat jelek (al-nafs al-ammaarah bi al su’).
2. Al-nafs almulhimah, jiwa yang agak jelek
yang dimiliki oleh orang yang ada pada tingkatan mu’min.
3. Al-nafs al-lawwamah, yaitu yang berada pada
tingkatan ma’rifat (arif).
4. Jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainah)
yaitu jiwa yang dimiliki oleh orang sufi yang berada pada tingkatan muwahhid.[6]
4.Tingkatan Spiritualitas dalam Tradisi Tasawuf
Secara harfiah, maqamat berasal dari bahasa
Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini
selanjutnya digunakan sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang
sufi untuk bertada dekat dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris, maqamat
dikenal dengan istilah stages, yang berarti tangga.
Tingkatan maqamat yang popular dikalangan
sufi adalah sebagai berikut:
1. Tawbah (Taubat)
Tawbah mengandung makna “kembali”. Apabila dikatakan dia kembali
bertaubat, berarti dia kembali. Jadi, tawbah adalah kembali dari sesuatu yang
dicela oleh syara menuju sesuatu yang dipuji olehnya.
Tawbah pada prinsipnya adalah usaha untuk memahami diri terhadap
kealpaan kemudian mengisinya dengan pengalaman, pengawalan, dan pembinaan yang
konstruktif dari perilaku kotor pada yang baik, dari melakukan dosa dan maksiat
pada pembuatan yang mendatangkan pahala, kecintaan, dan keridaan dari Allah
SWT.
2. Al-Wara’
Secara harfiah, al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan
dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak tidak
baik. Dalam pengertian sufi, al-wara’ adalah meninggalkan segala yang di
dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (subhat).
3. Zuhud
Zuhud berarti tidak menginginkan sesuatu yang bersifat keduniawian.
4. Faqr
Secara harfiah, faqr (fakir) diartikan sebagai orang yang berhajat,
membutuhkan, atau orang miskin. Adapun dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak
meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki,
kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguh pun
taka da pada diri kita, tetapi kalau diberi diterima. Tidak meminta, tetapi
tidak menolak.
5. Sabr (Sabar)
Sabr (sabar) bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabr
adalah usaha kesungguhan yang merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan
tinggi. Sabr ialah menahan diri dalam memikul suatu penderitaan, baik dalam
sesuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang
disenangi.
6. Tawakkal (Tawakal)
Tawakal merupakan kepercayaan dan penyerahan diri kepada Allah dengan
sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakal ditafsirkan sebagai suatu keadaan
jiwa yang selamanya tetap berada dalam ketenangan dan ketenteraman, baik dalam
keadaan suka maupun duka, ia akan sabar serta tidak resah dan gelisah.
7. Rida
Rida adalah puncak dari kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas
menjalani proses ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Rida merupakan
anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hamba-Nya dari usahanya yang
maksimal dalam pengabdian dan munajat. Maqam rida adalah ajaran untuk menanggapi
dan mengubah segala bentuk keadaan jiwa, baik kebahagiaan, kesenangan,
penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraaan dan kenikmatan
karena kebahagiaan menikmati segala pemberian Allah SWT.
8. Mahabbah
Mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang
ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan
hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk untuk bertemu dengan
kekasih,
Ma’rifat secara etimologi berarti mengenal, mengetahui, dan boleh pula
diarti yaitu Allah SWT. Tasawuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan
orang yang berlomba untuk memperoleh cinta ilahi menjadi sasaran orang-orang
yang beramal dan menjadi curhatan orang-orang yang mencintai Tuhannya.
9. Ma’rifah
Ma’rifah secara etimologi berarti mengenal, mengetahui, dan boleh pula
diartikan dengan menyaksikan. Ma’rifah dalam spiritual islam menjadi isi
terpenting sebagai pengukuran nilai-nilai ilahiah (ketuhanan) karena ma’rifat
ini adalah tingkat tertinggi dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan manusia
untuk mengenal Tuhan. Seorang sufi merasa dirinya dekat dengan Tuhan tanpa
batasan. Ia menyakini bahwa dirinya selalu dipimpin oleh Tuhan. Oleh sebab itu,
ia akan menjaga dan memelihara dirinya supaya tetap berada dalam ketaatan,
keimanan, dan amal saleh.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan
tata cara pengembangan rohani manusia dalam rangka usaha mencari dan
mendekatkan diri kepada Allah.
Spiritual merupakan hal yang berhubungan dengan
spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan
tujuan hidup manusia.
Dalam pandangan al-Hallaj, Allah dan manusia
masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut. Nasut Allah berada dalam bentuk
Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal
dari-Nya. Manakala seorang sufi sudah suci jiwanya, maka Nasut Allah akan
bertempat pada diri manusia yang bercampur dengan ruh (lahut) manusia.
Percampuran dua aspek inilah yang disebut Hulul.
Tingkatan
maqamat yang popular dikalangan sufi adalah sebagai berikut:
1.
Tawbah
(Taubat)
2.
Al-Wara’
3.
Zuhud
4.
Faqr
5.
Sabr (Sabar)
6.
Tawakkal (Tawakal)
7.
Rida
8.
Mahabbah
9.
Ma’rifah
DAFTAR PUSTAKA
Amin Syakur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999.
Fitrah untuk SMA/MA Semester 2, Aqidah Akhlak,
Putra Nugraha, Surakarta,2008.
Tamami, Psikologi Tasawuf, CV Pustaka Setia,
Bandung, 2011.
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn
Taimiyyah Atas Rancangan Bangun Tasawuf, JP Book, Surabaya, 2007.
Simuh,et, al, Tasawuf dan Kritis,Pustaka pelajar,
Yogyakarta, 2001.
[4] Masyharuddin, Pemberontakan
Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancangan Bangun Tasawuf, JP Book,
Surabaya, 2007 hlm. 252-253.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar